BAB II
DASAR TEORI
1.1. Kegunaan Singkong
Singkong merupakan tanaman umbi-umbian
yang buahnya biasa digunakan untuk membuat berbagai jenis makanan tradisional.
Makanan tradisional yang dapat dibuat dengan menggunakan bahan utama yang
berasal dari singkong anatara lain; getuk, gaplek, oyek, tiwul, kerupuk dan
lain sebagainya. Selain sebagai bahan makanan tradisional, dewasa ini singkong
telah banyak digunakan untuk membuat berbagai jenis roti yang termasuk jenis
makanan moderen yang dapat meningkatkan nilai jualnya.
2.2. Alat Pengolahan Singkong
Sebelum diolah menjadi berbagai jenis
roti, singkong terlebih dahulu diolah menjadi tepung tapioka. Tepung tapioka
dibuat dengan cara : (a) singkong diparut terlebih dahulu, (b) kemudian hasil
parutan tersebut diperas dengan ditambahkan sedikit air, (c) hasil perasan
tersebut kemudian diendapkan, (d) tahap terakhir adalah proses pengeringan dari
endapan yang telah dihasilkan. Endapan yang sudah kering tersebut dinamakan
tepung tapioka.
Proses pemarutan singkong untuk membuat
tepung tapioka merupakan proses pemarutan kapasitas besar dan dilakukan dalam
waktu yang lama. Hal ini mengakibatkan produsen tepung tapioka memerlukan mesin
pemarut agar pekerjaan yang dilakukan menjadi lebih efisien. Biaya yang
dibutuhkan untuk pengoperasikan mesin tersebut haruslah seefisien mungkin,
waktu pemarutan yang cepat, tidak menimbulkan suara bising, serta aman dan
nyaman dalam pengoperasian. Pemilihan elemen-elemen untuk perancangan dan
pembuatan mesin pemarut singkong ini juga harus memperhatikan kekuatan bahan, safety factor, dan ketahanan dari
berbagai komponen tersebut. Elemen mesin tersebut adalah mototr elektrik,
poros, pully, bantalan duduk, mur dan baut.
2.2.1
Motor Elekktrik
Motor elektrik adalah elemen mesin yang
berfungsi sebagai tenaga penggerak. Pengguanaan motor elektrik disesuaikan
dengan kebutuhan daya mesin. Motor elektrik pada umumnya berbentuk silinder dan
dibagian bawah terdapat dudukan yang berfungsi sebagai lubang baut supaya motor
listrik dapat dirangkai dengan rangka mesin atau konstruksi mesin yang lain.
Poros penggerak terdapat di salah satu ujung motor listrik dan tepat di
tengah-tengahnya, seperti pada gambar 2.1 dibawah ini.
Gambar 2.1.
Motor Elektrik
Jika
(rpm) adalah putaran dari poros motor listrik dan T (kg.mm)
adalah torsi pada poros motor listrik, maka besarnya daya P (kW) yang
diperlukan untuk menggerakkan sistem adalah (Sularso, 2004) :
Dengan :
P = Daya motor listrik (kW)
T = Torsi (kg.mm)
2.2.2.
Poros
a. Macam-macam poros
Poros berperan meneruskan daya
bersama-sama dengan putaran. Umumnya poros meneruskan daya melalui sabuk, roda
gigi dan rantai dengan, dengan demikian poros menerima beban puntir dan lentur.
Putaran poros biasa ditumpu oleh satu atau lebih bantalan untuk meredam gesekan
yang ditimbulkan seperti yang ditunjukkan gambar 2.2 di bawah ini.
Gambar 2.2 Poros di tumpu oleh dua bantalan
Ada beberapa macam jenis poros, di antaranya
yaitu :
1) Poros Transmisi
Poros transmisi mendapat beban puntir murni atau
beban puntir dan lentur. Poros transmisi berfungsi untuk meneruskan daya dari
salah satu elemen ke elemen yang lain melalui kopling.
2) Spindel
Spindel merupakan poros transmisi yang relatif
pendek, seperti poros utama pada mesin perkakas di mana beban utamanya berupa
puntiran. Syarat yang harus dipenuhi oleh poros ini adalah deformasinya harus
kecil dan bentuk serta ukurannya harus teliti.
3) Gandar
Poros gandar dipasang pada roda-roda kereta api
barang, sehingga tidak mendapat beban puntir, terkadang poros gandar juga tidak
boleh berputar. Gandar hanya mendapat beban lentur, kecuali jika digerakkan
oleh penggerak mula yang memungkinkan mengalami beban puntir.
b.
Hal-hal
penting yang perlu diperhatikan dalam perencanaan poros
Untuk merancanakan sebuah poros, hal-hal yang
perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
1) Kekuatan poros
Suatu poros transmisi dapat mengalami beban puntir
atau lentur, atau gabungan antara puntir dan lentur. Poros juga ada yang
mendapat beban tarik atau tekan seperti poros baling-baling kapal atau turbin,
dan lain-lain. Kelelahan tumbukan atau pengaruh konsentrasi tegangan bila
diameter poros diperkecil (poros bertangga) atau bila poros mempunyai alur
pasak harus diperhatikan. Sebuah poros harus direncanakan cukup kuat untuk
menahan beban-beban seperti yang telah disebutkan di atas.
2) Kekakuan poros
Meskipun sebuah poros telah memiliki kekuatan yang
cukup, tetapi jika lenturan atau defleksi puntirnya terlalu besar akan
mengakibatkan ketidaktelitian pada suatu mesin perkakas. Hal ini dapat
berpengaruh pada getaran dan suaranya (misalnya pada turbin dan kotak roda
gigi). Kekakuan poros juga harus diperhatikan dan disesuaikan dengan macam
mesin yang akan menggunakan poros tersebut.
3) Putaran
kritis
Bila kecepatan putar
suatu mesin dinaikan, maka pada harga putaran tertentu dapat terjadi getaran
yang luar biasa besarnya. Putaran ini dinamakan putaran kritis. Hal semacam ini
dapat terjadi pada turbin, motor torak, motor listrik yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada poros dan bagian-bagian lainnya.jika memungkinkan, maka poros
harus direncanakan sedemikian rupa, sehingga kerjanya menjadi lebih rendah
daripada putaran kritisnya.
4) Korosi
Penggunaan poros
propeler pada pompa harus memilih bahan-bahan yang tahan korosi (termasuk
plastik), karena akan terjadi kontak langsung dengan fluida yang bersifat
korosif. Hal tersebut juga berlaku
untuk poros-poros yang terancam kavitasi dan poros pada mesin-mesin yang
berhenti lama. Usaha perlindungan dari korosi dapat pula dilakukan akan tetapi
sampai batas-batas tertentu saja.
5)
Bahan poros
Poros pada mesin
umumnya terbuat dari baja batang yang ditarik
dingin dan difinis. Meskipun demikian, bahan tersebut kelurusannya agak
kurang tetap dan dapat mengalami deformasi karena tegangan yang kurang seimbang
misalnya jika diberi alur pasak, karena ada tegangan sisa dalam terasnya. Akan tetapi, penarikan dingin juga dapat
membuat permukaannya menjadi keras dan kekuatannya bertambah besar.
Poros-poros yang dipakai untuk meneruskan putaran
tinggi dan beban berat umumnya dibuat dari baja paduan dengan pengerasan kulit
yang sangat tahan terhadap kausan. Beberapa bahan yang dimaksud di antaranya
adalah baja khrom, nikel, baja khrom nikel molibdem, dan lain-lain. Sekalipun
demikian, pemakaian baja paduan khusus tidak selalu dianjurkan jika alasanya
hanya untuk putaran tinggi dan beban berat saja. Hal ini perlu dipertimbangkan
dalam pengguanaan baja karbon yang diberi perlakuan panas secara tepat untuk memperoleh
kekuatan yang diperlukan.
c. Rumus
perhitungan.
Perencanaan poros harus menggunakan perhitungan sesuai dengan
yang telah ditetapkan. Perhitungan tersebut antara lain mengenai; daya rencana,
tegangan geser, dan tegangan geser maksimum. Berikut ini adalah perhitungan dalam perencanaan poros (Sularso, 2004).
1)
Daya rencana
Dengan : = Daya rencana (HP)
= Faktor koreksi
= Daya nominal output dari motor penggerak
(HP)
T = 9,74.10
Dengan : T
= Momen puntir (N.mm)
n
= putaran motor penggerak (rpm)
2) Tegangan
geser :
Maka
diameter poros untuk beban puntir dan lentur :
d
Dengan :
d= Diameter poros
(mm)
= Tegangan geser (kg/mm)
k= Faktor korelasi
k = Faktor koreksi
3)
Tegangan geser maksimum :
2.2.3. Puli V-belt
a.
Puli
Puli V-belt merupakan salah satu elemen mesin
yang berfungsi untuk mentransmisikan daya seperti halnya sproket rantai dan
roda gigi. Bentuk puli adalah bulat dengan ketebalan tertentu, di tengah-tengah
puli terdapat lubang poros (gambar 2.3).
Puli pada umumnya dibuat dari besi cor kelabu FC 20 atau FC 30, dan adapula
yang terbuat dari baja.
Gambar
2.3. Puli
Perkembangan
yang pesat dalam bidang penggerak pada berbagai mesin yang menggunakan motor
listrik telah membuat arti sabuk untuk alat penggerak menjadi berkurang. Akan
tetapi, sifat elastisitas daya dari sabuk untuk menampung kejutan dan getaran
pada saat transmisi membuat sabuk tetap dimanfaatkan untuk mentransmisikan daya
dari penggerak pada mesin perkakas.
Keuntungan jika
menggunakan puli :
1)
Bidang kontak sabuk-puli luas, tegangan puli biasanya
lebih kecil sehingga lebar puli bisa dikurangi.
2) Tidak menimbulkan suara yang bising dan
lebih tenang.
b.
V-Belt
Sabuk
atau belt terbuat dari karet dan mempunyai penampung trapesium. Tenunan,
teteron dan semacamnya digunakan sebagai inti sabuk untuk membawa tarikan yang
besar. Sabuk-V dibelitkan pada alur puli yang berbentuk V pula. Bagian sabuk
yang membelit akan mengalami lengkungan sehingga lebar bagian dalamnya akan
bertambah besar. Gaya
gesekan juga akan bertambah karena pengaruh bentuk baji, yang akan menghasilkan
transmisi daya yang besar pada tegangan yang relatif rendah. Hal ini merupakan
salah satu keunggulan dari sabuk-V jika dibandingkan dengan sabuk rata. Gambar
2.4 di bawah ini menunjukan berbagai porsi penampang sabuk-V yang umum dipakai.
Gambar 2.4. Konstruksi
dan ukuran penampang sabuk-V
(Sularso, 2004)
Pemilihan puli V-belt sebagai elemen
transmisi didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1) Dibandingkan roda gigi atau rantai,
penggunaan sabuk lebih halus, tidak bersuara, sehingga akan mengurangi
kebisingan.
2) Kecepatan putar pada transmisi sabuk lebih
tinggi jika dibandingkan dengan belt.
3) Karenan sifat penggunaan belt yang dapat
selip, maka jika terjadi kemacetan atau gangguan pada salah satu elemen tidak
akan menyebabkan kerusakan pada elemen lain.
c.
Rumus perhitungan puli dan sabuk
Perencanaan
puli dan sabuk-V haruslah menggunakan suatu perhitungan. Rumus perhitungan puli
dan sabuk-V antara lain untuk menentukan; perbandingan transmisi, kecepatan
sabuk, dan panjang sabuk. Rumus perhitungan tersebut adalah sebagai berikut
(Sularso, 1994):
1)
Perbandingan transmisi
Dengan :
= putara
n poros pertama (rpm)
= Putaran poros kedua (rpm)
= diameter puli penggerak (mm)
= diameter puli yang digerakan (mm)
2)
Kecepatan sabuk
(m/s)
Dengan
: V = kecepatan sabuk (m/s)
d =
diameter puli motor (mm)
n = putaran motor listrik (rpm)
3)
Panjang sabuk (gambar 2.5))
L = 2C + (dp + Dp) + (Dp - dp)
Dengan :
L = panjang sabuk (mm)
C
= jarak sumbu poros (mm)
D = diameter puli penggerak (mm)
D= diameter puli
poros (mm)
Gambar 2.5 Puli 1 dan
puli 2
2.2.4. Bantalan
Bantalan adalah elemen mesin yang menumpu
poros berbeban, sehingga putaran atau gerak bolak-balik dapat bekerja dengan
aman, halus dan panjang umur. Bantalan harus kokoh untuk memungkinkan poros
atau elemen mesin lainnya dapat bekerja dengan baik. Jika bantalan tidak
bekerja dengan baik, maka prestasi kerja seluruh sistem akan menurun atau tidak
dapat bekerja semestinya. Jadi, jika disamakan pada gedung, maka bantalan dalam
permesinan dapat disamakan dengan pondasi pada suatu gedung.
Berdasarkan dasar gerakan bantalan terhadap poros,
maka bantalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.
Bantalan luncur
Bantalan
luncur mampu menumpu poros berputaran tinggi dengan beban yang besar. Bantalan
ini memiliki konstruksi yang sederhana dan dapat dibuat dan dipasang dengan
mudah. Bantalan luncur memerlukan momen awal yang besar karena gesekannya yang
besar pada waktu mulai jalan. Pelumasan pada bantalan ini tidak begitu
sederhana, gesekan yang besar antara poros dengan bantalan menimbulkan efek
panas sehingga memerlukan suatu pendinginan khusus seperti terlihat pada gambar
2.6 di bawah ini.
Gambar 2.6.
Pelumasan bantalan luncur
Lapisan
pelumas pada bantalan ini dapat meredam tumbukan dan getaran sehingga hampir
tidak bersuara. Tingkat ketelitian yang diperlukan tidak setinggi bantalan
gelinding sehingga harganya lebih murah.
Macam-macam bantalan
luncur :
1)
Bantalan radial
2)
Bantalan aksial
3)
Bantalan khusus
b.
Bantalan gelinding
Pada
bantalan ini terjadi gesekan gelinding antara bagian yang berputar dengan yang
diam melalui elemen gelinding seperti bola (peluru), rol jarum dan rol bulat (seperti
yang ditunjukan pada gambar 2.7). Bantalan gelinding pada umumnya cocok untuk
beban kecil daripada bantalan luncur, tergantung pada bentuk elemen
gelindingnya. Putaran pada bantalan ini dibatasi oleh gaya sentrifugal yang timbul pada elemen
gelinding tersebut. Bantalan gelinding hanya dibuat oleh pabrik-pabrik tertentu
saja karena konstruksinya yang sukar dan ketelitiannya yang tinggi. Harganya
pun pada umumnya relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan bantalan luncur.
Bantalan
gelinding diproduksi menurut standar dalam berbagai ukuran dan bentuk, hal ini
dilakukan agar biaya produksi menjadi lebih efektif serta memudahkan dalam
pemakaian bantalan tersebut. Keunggulan dari bantalan gelinding yaitu, gesekan
yang terjadi pada saat berputar sangat rendah. Pelumasannya pun sangat
sederhana, yaitu cukup dengan gemuk, bahkan pada jenis bantalan gelinding yang
memakai sil sendiri tidak perlu pelumasan lagi. Meskipun ketelitiannya sangat
tinggi, namun karena adanya gerakan elemen gelinding dan sangkar, pada putaran
yang tinggi bantalan ini agak gaduh jika dibandingkan dengan bantalan luncur.
Gambar 2.7.
Komponen bantalan gelinding
c.
Rumus perhitungan
Rumus perhitungan bantalan gelinding antara lain
mengenai (Sularso, 2004) :
1)
Beban ekuivalen dinamis
P = x.v. Fr + Fa.Y
Dengan
: x = 0,56
v = 1
y = 1,45
Fr = beban radial
Fa = beban aksial
2)
Faktor kecepatan
3)
Faktor umur
4)
Umur bantalan
LK = 500
2.2.5. Mur dan
Baut
Mur dan baut merupakan alat pengikat yang sangat penting
dalam suatu rangkaian mesin. Jenis mur dan baut beraneka ragam, sehingga
penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan (gambar 2.8) Pemilihan mur dan baut
sebagai pengikat harus dilakukan dengan teliti untuk mendapatkan ukuran yang
sesuai dengan beban yang diterimanya sebagai usaha untuk mencegah kecelakaan
dan kerusakan pada mesin. Pemakain mur dan baut pada konstruksi mesin umumnya
digunakan untuk mengikat beberapa komponen, antara lain :
a.
Pengikat pada bantalan
b.
Pengikat pada dudukan motor listrik
c.
pengikat pada puli
Gambar 2.8.
Macam-macam Mur dan Baut
(Sularso, 1994)
Penentuan jenis dan ukuran mur dan
baut harus memperhatikan berbagai faktor seperti sifat gaya yang bekerja pada
baut, cara kerja mesin, kekuatan bahan, dan lain sebagainya. Gaya-gaya yang bekerja pada baut dapat
berupa :
a.
Beban statis aksial murni
b.
Beban aksial bersama beban puntir
c.
Beban geser
2.2.6. Pengelasan
Berdasarkan
definisi dari Deutche Indusrtries Normen
(DIN), las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang
dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Definisi tersbut dapat dijabarkan
lebih lanjut bahwa las adalah sambungan setempat dari beberapa batang logam
yang menggunakan energi panas. Las juga dapat diartikan penyambungan dua buah
logam sejenis maupun tidak sejenis dengan cara memanaskan (mencairkan) logam
tersebut di bawah atau di atas titik leburnya, disertai dengan atau tanpa
tekanan dan disertai atau tidak disertai logam pengisi.
Berdasarkan cara kerjanya, pengelasan
diklasifikasikan menjadi tiga kelas utama yaitu : pengelasan cair, pengelasan tekan
dan pematrian.
1) Pengelasan cair adalah metode pengelasan
dimana bagian yang akan disambung dipanaskan sampai mencair dengan sumber panas
dari busur listrik ataupun busur gas.
2) Pengelasan tekan adalah metode pangalasan
dimana bagian yang akan disambung dipanaskan sampai lumer (tidak sampai
mencair), kemudian ditekan hingga menjadi satu tanpa bahan tambahan.
3)
Pematrian
adalah cara pengelasan dimana bagian yang akan disambung diikat dan disatukan
dengan menggunakan paduan logam yang mempunyai titik cair yang rendah. Metode
pengelasan ini mengakibatkan logam induk tidak ikut mencair.
a. Klasifikasi Las Berdasarkan Sambungan dan
Bentuk Alurnya.
1)
Sambungan Las Dasar
Sambungan las pada
konstruksi baja pada dasarnya dibagi menjadi sambungan tumpul, sambungan T,
sambungan sudut dan sambungan tumpang. Sebagai perkembangan sambungan dasar di
atas terjadi sambungan silang, sambungan dengan penguat dan sambungan sisi seperti
ditunjukan gambar 2.9 di bawah ini.
Gambar 2.9.
Jenis-jenis sambungan dasar
(Wiryosumarto H, 1994)
2)
Sambungan Tumpul
Sambungan tumpul adalah
jenis sambungan las yang paling efisien, sambungan ini terbagi menjadi dua
yaitu :
a)
Sambungan penetrasi penuh
b)
Sambungan penetrasi sebagian
Sambungan penetrasi
penuh terbagi lagi menjadi sambungan tanpa plat pembantu dan sambungan dengan
plat pembantu. Bentuk alur dalam sambungan tumpul sangat mempengaruhi efisiensi
pekerjaan dan jaminan sambungan.
Pada dasarnya, dalam
pemilihan bentuk alur harus mengacu pada penurunan masukan panas dan penurunan
logam las sampai harga terendah yang tidak menurunkan mutu sambungan.
3) Sambungan bentuk T dan bentuk silang
Sambungan bentuk T dan bentuk silang ini secara
garis besar terbagi menjadi dua jenis (seperti pada gambar 2.10), yaitu :
a)Jenis las dengan alur datar
b)
Jenis las sudut
Dalam pelaksanaan
pengelasan mungkin ada bagian batang yang menghalangi, hal ini dapat diatasi
dengan memperbesar sudut alur.
Ganbar 2.10.
Macam-macam sambungan T
(Wiryosumarto H, 1994)
4)
Sambungan Tumpang
Sambungan tumpang
dibagi menjadi tiga jenis (seperti yang ditunjukan pada gambar 2.11). Sambungan
tumpang tingkat keefisienannya rendah, maka jarang sekali digunakan untuk
pelaksanaan sambungan konstruksi utama.
Gambar 2.11. Sambungan Tumpang
(Wiryosumarto H, 1994)
5)
Sambungan Sisi
Sambungan sisi dibagi
menjadi dua (seperti ditunjukkan pada gambar 2.12), yaitu :
a)
Sambungan las dengan alur
Untuk jenis sambungan
ini platnya harus dibuat alur terlebih dahulu.
b)
Sambungan las ujung
Sedangkan untuk jenis
sambungan ini pengelasan dilakukan pada ujung plat tanpa ada alur. Sambungan
las ujung hasilnya kurang memuaskan, kecuali jika dilakukan pada posisi datar
dengan aliran listrik yang tinggi. Oleh karena itu, pengelasan jenis ini hanya dipakai untuk pengelasan tambahan atau
pengelasan sementara pada pengelasan plat-plat yang tebal.
Gambar 2.12.
Sambungan Sisi
(Wiryosumarto H, 1994)
6)
Sambungan Dengan Plat Penguat
Sambungan ini dibagi
dalam dua jenis yaitu sambungan dengan plat penguat tunggal dan sambungam
dengan plat penguat ganda seperti yang ditunjukan pada gambar 2.13. Sambungan
jenis ini mirip dengan sambungan tumpang, maka sambungan jenis ini pun jarang
digunakan untuk penyambungan konstruksi utama.
Gambar 2.13.
Sambungan Dengan Penguat
(Wiryosumarto H, 1994)
b.Kekuatan Las
Kekuatan las
dipengaruhi oleh beberapa faktor, oleh karena itu penyambungan dalam proses
pengelasan harus memenuhi beberapa syarat, antatra lain :
1)
Benda yang dilas tersebut harus dapat cair atau lebur
oleh panas.
2)
Antara benda-benda padat yang disambungkan tersebut
terdapat kesamaan sifat lasnya, sehingga tidak melemahkan atau meninggalkan
sambungan tersebut.
3)
Cara-cara penyambungan harus sesuai dengan sifat benda
padat dan tujuan dari penyambungannya.
4)
Perhitungan kekuatan las, seperti pada rumus di bawah
ini (Zainul Achmad, 1999) :
Tegangan Total
:
Dengan :
F = Gaya yang bekerja (N)
= Tegangan total (N/mm)
H =
Tinggi plat (mm)
A = Luas
penampang (A = 2.a.)
a = Lebar pengelasan
(mm)
= Panjang las